ahlan wa sahlan..... wilujeung sumping...!

Selasa, 08 Maret 2011

Ahlu Sunnah Wal Jama'ah

Sayid Muhammad bin Muhammad al-Husaini atau yang lebih dikenal dengan As-Syaikh Murtadla Az-Zabidi dalam kitab beliau Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin mengatakan:

إذا اطلق اهل السنة والجماعة فالمراد بهم الاشاعرة والماتردية.
Artinya: “Jika disampaikan kalimat Ahli Al Sunnah Wal Jama'ah secara mutlak, maka yang dikehendaki adalah golongan al-Asya'irah dan Al-Maturidiyyah.”

As-Syaikh Ahmad Bin Musa al-Khayali dalam Hasiyah Syarh al-Aqaid karya Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, juga mengatakan:

الاشاعرة هم اهل السنة والجماعة
Artinya: “Pengikut Abu Hasan al-Asy’ari semuanya adalah Ahli Sunnah wal Jama'ah.”

Artinya, ketika disampaikan Ahlussunnah wal Jama'ah, maka ucapan tersebut memastikan Asy'ariyyah sebagai bagian dari golongan tersebut. Beliau menambahkan, termasuk Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Asy'ariyyah yang masyhur di wilayah Khurasan, sekitar Afganistan, Irak, Syam serta mayoritas daerah berpenduduk muslim. Sedangkan yang masyhur di daerah seberang Nahri Jaihun, yaitu daerah Khawarizm di Afganistan, Ahlussunnah di sana tergolong pengikut Abu Manshur Al-Maturidi. Komentar serupa juga disampaikan Imam Al-Kastalani.


Abu Hasan Al Asy’ari pada mulanya berguru ilmu kalam dari Abu Ali Al Juba’i, salah satu tokoh besar Mu'tazilah. Kemudian melalui sebuah proses panjang, beliau mulai mendapatkan sisi rapuh dari akidah Mu'tazilah. Setelah mendapatkan petunjuk Allah untuk memahami terang kebenaran ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, Al Asy’ari menjadi tokoh pertama yang menentang Mu'tazilah. Beliau dengan terang-terangan berdiri di muka kaum muslimin di atas mimbar masjid Basrah pada hari Jumat, menyampaikan dengan lantang khutbahnya sebagai berikut:

“Barang siapa telah mengenal diriku, mereka telah mengetahui akidahku, dan bagi yang belum mengenalku, perlu Anda semua ketahui bahwa saya adalah seseorang yang dulu mengatakan al Quran adalah makhluk, Allah tidak dapat disaksikan dengan penglihatan di akhirat nanti dan bahwasanya manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Dan ketahuilah, saya telah bertaubat dari akidah Mu'tazilah tersebut dan bertekad untuk menentang akidahnya. Wahai umat sekalian, selama beberapa waktu ini aku mengasingkan diriku untuk menelaah dan mencoba merenungkan dalil-dalil, namun tidak ada yang menjadikan diriku mantap. Kemudian aku meminta petunjuk Allah, hingga Allah memberiku petunjuk dengan keyakinan yang aku tuangkan dalam kitabku ini. Dan aku melepas akidahku selama ini, sebagaimana aku melepas bajuku ini.” Kemudian beliau melepas dan membuang bajunya dan menyerahkan kitabnya pada umat.

Kemudian beliau menyusun lebih dari dua ratus kitab kitab berisi tanggapan dan kritik terhadap akidah Mu'tazilah sekaligus menyusun kitab tentang pedoman dan dasar-dasar akidah Ahlussunnah wal Jama'ah. Sebuah warisan berharga terhadap perjuangan menegakkan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dan bagi umat Islam pada umumnya.

Diceritakan beberapa cuplikan akhir perdebatan Abu Hasan Al Asyari dan Abu Ali Al Juba’i:

Abu Hasan bertanya pada Abu Ali: “Bagaimana pendapat Anda tentang tiga saudara yang telah meninggal dunia, yang pertama adalah orang yang taat, yang kedua adalah orang yang meninggal dalam keadaan durhaka dan orang ketiga meninggal dalam keadaan masih kecil?”

Abu Ali menjawab: “Yang taat diberi pahala masuk surga, yang durhaka disiksa masuk neraka dan yang kecil ada di tengah-tengah antara keduanya (manzilah baina al-manzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa.”

Abu Hasan bertanya: “Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau mengambil nyawa hamba saat masih kecil? Andai Engkau biarkan hamba hidup, maka hamba akan taat padaMu, hingga hamba masuk surga.” Lalu, bagaimana Allah menjawab?”

Abu Ali menjawab: “Allah akan menjawab: “Aku tahu jikalau engkau dibiarkan hidup sampai dewasa, maka engkau akan durhaka, hingga akhirnya masuk neraka, maka yang terbaik bagimu adalah engkau mati di saat masih kecil.”

Abu Hasan bertanya lagi: “Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika Engkau tahu aku akan durhaka, mengapa Engkau tidak mengambil nyawaku di saat aku masih kecil? Sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?” Lalu, apa yang akan dikatakan Allah?!” Dan pada akhirnya Abu Ali Al Juba’i tidak mampu menjawab. Ibn 'Imad menyampaikan, "Perdebatan ini membuahkan kesimpulan bahwa Allah akan merahmati siapa pun yang Ia kehendaki, dan menentukan siksaan bagi mereka yang juga telah dikehendakiNya."

Semenjak itulah Abu Hasan Al Asy’ari meninggalkan madzhab Mu'tazilah. Beliau dan para pengikutnya mencurahkan perjuangan untuk membatalkan akidah Mu'tazilah.

Akidah Al Asy’ari dan Al Maturidi
Kedua tokoh pelopor Ahlussunnah wal Jama'ah, Abu Hasan Al Asyari dan Abu Manshur Al Maturidi, telah menyepakati beragam konsep akidah, di antaranya masalah sifat-sifat wajib dan muhal (mustahil) bagi Allah, para rasul dan malaikat, sifat jaiz bagi Allah dan rasul, meskipun terkadang dalam argumentasi dan penalarannya berbeda. Perbedaan yang terjadi antara mereka berdua bukanlah perbedaan esensial. Menurut satu keterangan mereka berdua berbeda dalam tujuh puluh tiga, pendapat lain dua belas persoalan. Sedangkan menurut versi lain, perbedaan mereka hanya dalam tiga hal, yakni:

1. Seputar persoalan istitsna’ (pengecualian), atau masalah keimanan seseorang yang dalam perkataannya menambahkan pengecualian إن شاء الله.
2. Menyikapi masalah sifat takwin (mewujudkan)
3. Tentang keimanan seseorang yang hanya mengikuti orang lain yang dipercayai, tanpa mengetahui dengan jelas dalil-dalilnya atau dalam bahasa lain iman dari muqallid.

Seputar Istitsna' (pengecualian)

Masalah istitsna’ , yakni persoalan keimanan seseorang yang mengatakan: “Saya mukmin, insya Allah.” Menurut kalangan Asy'ariyah hal tersebut diperbolehkan, namun menurut Al Maturidiyyah tidak diperbolehkan. Sebagaimana dikutip dari penyataan Al Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din: “Apabila kalian bertanya, dari mana tinjauan ucapan ulama salaf 'Saya mukmin insya Allah', padahal pengecualian termasuk keraguan, sedangkan keraguan dalam iman adalah kufur. Sedangkan ulama salaf menghindari jawaban mantap dalam keimanan dan mereka mengecualikan dengan kata-kata di atas?”

Dalam hal ini Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa mengatakan saya mukmin di hadapan Allah, maka dia termasuk pembohong dan barangsiapa mengatakan 'saya mukmin dengan haq', maka itu adalah bid’ah.” Bagaimana mungkin dinilai pembohong, padahal dia telah mengetahui apa yang ada di hatinya sendiri, dan barangsiapa beriman dalam hati, maka artinya dia beriman juga di hadapan Allah. Sebagaimana orang tersebut tahu bahwa dirinya mendengar atau melihat, maka di hadapan Allah seharusnya juga demikian. Di satu kesempatan Hasan Bashri pernah ditanyai seseorang: “Apakah Anda mukmin?” Beliau menjawab: 'Insyaallah', kemudian orang tersebut bertanya kembali: “Kenapa Anda menjawab insyaAllah?” Hasan Bashri menjawab: “Saya takut mengatakan “betul” sementara Allah mengatakan “bohong engkau Hasan.”

Ibrahim bin Adham mengatakan: "Saat kalian ditanya, 'Apakah Anda mukmin?' Maka jawablah dengan perkataan:"Laa ilaha illallah" atau jawablah: “Saya tidak ragu-ragu dalam keimanan, hanya saja apa yang engkau tanyakan adalah bid’ah.” Saar Al Qamah ditanyai seseorang: “Apakah Anda mukmin?” Beliau menjawab: “Saya berharap demikian, insya Allah.”

Kemudian, apa arti semua pengecualian di atas? Al Ghazali memaparkan bahwa melakukan pengecualian (istisna’) sebagaimana di atas dapat dibenarkan. Hal ini tidak terlepas dari empat faktor. Dua faktor merupakan istitsna’ yang dilatarbelakangi dari adanya keraguan tentang akhir hidup yang belum pasti (naudzubillah min suu'il khatimah) atau tentang kesempurnaan iman. Dan dua faktor yang lain merupakan istitsna’ yang tidak dilatarbelakangi keraguan.

Faktor pertama, melakukan istisna’ karena keraguan atas kesempurnaan iman. Sehingga perkataan “Saya mukmin, insya Allah”, dapat ditafsirkan maksudnya adalah, “saya mukmin dengan iman yang haq (sebenar-benarnya), insya Allah”. Dilatarbelakangi karena ada sebagian manusia mendapatkan predikat 'mukmin yang haq' dari Allah. FirmanNya dalam QS. Al-Anfaal :04:

أولئك هم المؤمنون حقا.
Artinya: "Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya"

Setiap manusia mengalami keraguan semacam ini, dan bukan dinilai sebagai kekufuran. Dan hal ini dibenarkan memandang dua aspek. Pertama, bahwasanya kemunafikan dapat menghilangkan kesempurnaan iman, padahal kemunafikan samar dan halus keberadaannya serta belum dipastikan terlepas dari manusia. Kedua, meskipun kesempurnaan iman dapat dicapai melalui beberapa amal ketaatan, namun juga abstrak keberadaannya.

Faktor kedua, melakukan istisna’ karena keraguan atas tetapnya iman di akhir hayat. Setiap manusia tidak tahu apakah imannya selamat atau tidak? Jika hidup diakhiri dengan kekufuran, maka terhapuslah semua amal yang telah lewat, na'udzubillah min dzalik. Sebagaimana orang yang berpuasa di siang hari saat ditanyai: “Apa puasamu sah?” Kemudian ia menjawab: “Aku pasti berpuasa.” Dan ternyata ia berbuka di tengah hari, maka jelas ungkapannya termasuk kebohongan.

Faktor ketiga, melakukan istisna’ karena kekhawtiran merasa dirinya bersih dari sifat yang tidak terpuji. Sedangkan merasa bersih adalah larangan Allah swt. Firman Allah dalam QS. An-Najm: 32;

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya: "Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."

Orang bijak saat ditanya: “Apakah kejujuran yang jelek?” Ia akan menjawab: “Memuji diri sendiri.”

Faktor ketiga, melakukan istisna’ karena berlaku adab dengan menyebutkan Allah dan menyerahkan semuanya atas kehendak Allah. Sedangkan Allah mengajarkan adab terhadap nabiNya dengan berfirman:
ولاتقولن لشيء إنى فاعل ذلك غدا إلا ان يشاء الله
Artinya: "Jangan kalian benar-benar mengatakan atas sesuatu: Aku akan melakukan sesuatu esok hari, kecuali atas kehendak Allah."

Allah swt. juga mengajarkan hal tersebut pada hal-hal yang sudah pasti terjadinya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fath:26:

لتدخلن المسجد الحرام إن شاء الله امنين محلقين رؤوسكم ومقصرين
Artinya: "Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya."

Menyikapi Teori At-Takwin
Al Asy'ari dan Al Maturidi berbeda mempersoalkan apakah at-Takwin termasuk sifat mukawwin atau bukan? Menurut Al Maturidi, at-takwin (mewujudkan) sebagaimana memberi rezeki, menjadikan hidup mati, memberi rezeki sejalan dengan qudrah, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin dan takwin bukanlah mukawwin (yang menjadikan). Menurut Al-Asy'ari, at-takwin tidak berbeda dengan qudrah dengan menilik hubungannya secara khusus. Mewujudkan adalah sifat qudrah dengan memandang hubungannya kepada makhluk. Memberi rizqi adalah sifat qudrah dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rezeki.

Tentang Keimanan Muqallid
Menurut Al Maturidi, iman muqallid (orang yang mengikuti orang lain tanpa memahami dalil) adalah sah dan mereka orang awam disebut dengan 'arif (orang yang ma’rifat pada Allah) dan masuk surga. Menurut Al Asy'ari dan ulama lain yang sependapat, bahwa kewajiban ma’rifat tidak cukup dengan taqlid. Pengikut Al Asy'ari dalam hal ini juga berbeda pendapat mengenai iman seorang muqallid. Ditemukan tiga versi di kalangan mereka. Pertama, muqallid adalah mukmin, namun berdosa karena tidak berusaha mengusahakan ma’rifat melalui analisa dalil. Kedua, muqallid dianggap mukmin dan tidak berdosa, kecuali jika mampu mengupayakan analisa dalil. Ketiga, muqallid tidak dianggap mukmin sama sekali.. (el-vaheed)

2 komentar: