ahlan wa sahlan..... wilujeung sumping...!

Selasa, 08 Maret 2011

cermin

Kalau kita ingin melihat wajah kita sendiri, biasanya kita bersendiri dengan kaca ajaib yang lazim kita sebut cermin. Dari cermin itu kita bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di wajah kita; baik yang menyenangkan atau yang tidak, bahkan mungkin yang membuat kita malu.

Dengan cermin, kita mematut-matut diri. Barangkali karena itulah hampir tidak ada rumah yang tidak menyimpan cermin. Karena hampir semua orang ingin dirinya patut.

Tanpa bercermin kita tidak bisa melihat sendiri noda yang ada pada diri kita. Dan tanpa melihat sendiri noda itu, bagaimana kita tergerak menghilangkannya.
Di dalam Islam, ada dawuh,” Almu’minu miraatul mu’min”,” Orang mukmin adalah cermin mukmin yang lain”; “Inna ahadakum miraatu klhiihi”,” Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin saudaranya. Artinya masing-masing orang mukmin bisa –atau seharusnya-- menjadi cermin mukmin yang lain. Seorang mukmin dapat menunjukkan noda saudaranya, agar saudaranya itu bisa menghilangkannya.
Dalam pengertian yang lain, untuk mengetahui noda dan aib kita, kita bisa bercermin pada saudara kita. Umumnya kita hanya –dan biasanya lebih suka—melihat noda dan aib orang lain. Sering kali justru karena kesibukan kita melihat aib-aib orang lain, kita tidak sempat melihat aib-aib kita sendiri.
Di bulan suci, dimana kita bisa tenang bertafakkur memikirkan diri sendiri --dan inilah sesungguhnya yang penting—, kadang-kadang kita masih juga kesulitan untuk melihat kekurangan-kekurangan kita. Satu dan lain hal, karena kita enggan memikirkan kekurangan-kekurangan diri sendiri. Maka bercermin pada orang lain kiranya sangat perlu kita lakukan.
Seperti kita ketahui, melihat orang lain adalah lebih mudah dan jelas katimbang melihat diri sendiri. Marilah kita lihat orang lain, kita lihat aib-aib dan kekurangan-kekurangannya; lalu kita rasakan respon diri kita sendiri terhadap aib-aib dan kekurangan-kekurangan orang lain itu. Misalnya, kita melihat kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan; atau kawan kita yang suka membanggakan dirinya dan merendahkan orang lain; atau kawan kita yang suka menang-menangan, ingin menang sendiri; atau kawan kita yang bersikap atau berperangai buruk lainnya. Kira-kira bagaimana tanggapan dalam diri kita terhadap sikap kawan-kawan kita yang seperti itu?
Kita mungkin merasa jengkel, muak, atau minimal tidak suka. Kemudian marilah kita andaikan kawan-kawan kita itu kita dan kita adalah mereka. Artinya kita yang mempunyai sikap dan perilaku tidak terpuji itu dan mereka adalah orang yang melihat. Apakah kira-kira mereka juga jengkel, muak, atau minimal tidak suka melihat sikap dan perilaku kita? Kalau jawabnya tidak, pastilah salah satu dari kita atau mereka yang tidak normal.
Normalnya, adalah sama. Sebagaimana kita tidak suka melihat perangai buruk orang lain, orang lain pun pasti tidak suka melihat perangai buruk kita. Demikian pula sebaliknya; apabila kita senang melihat perangai orang yang menyenangkan, orang pun pasti akan senang apabila melihat perangai kita menyenangkan.
Namun kadang-kadang kita seperti tidak mempunyai waktu untuk sekedar bercermin, melihat diri kita sendiri pada orang lain seperti itu. Hal ini mungkin disebabkan oleh ego kita yang keterlaluan dan menganggap bahwa yang penting hanya diri kita sendiri, hingga melihat orang lain, apalagi merasakan perasaannya, kita anggap tidak penting. Orang lain hanya kita anggap sebagai figuran dan kitalah bintang utama.
Ada sebuah hadis sahih yang sering orang khilaf mengartikannya. Hadis sahih itu berbunyi Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhiihi maa yuhibbu linafsihi. Banyak yang khilaf mengartikan hadis ini dengan: “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia menyintai saudaranya sebagaimana menyintai dirinya.” Pemaknaan ini kelihatannya benar, tapi ada yang terlewatkan dalam mencermati redaksi hadis tersebut. Disana redaksinya yuhibba liakhiihi (menyintai untuk saudaranya), bukan yuhibba akhaahu (menyintai saudaranya), Jadi semestinya diartikan “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia senang atau menyukai untuk saudaranya apa yang dia senang atau menyukai untuk dirinya sendiri”.
Artinya apabila kita senang atau suka mendapat kenikmatan, misalnya, maka kita harus –bila ingin menjadi sebenar-benar mukmin—juga senang atau suka bila saudara mendapat kenikmatan. Apabila kita senang diperlakukan dengan baik, kita pun harus senang bila saudara kita diperlakukan dengan baik. Apabila kita senang jika tidak diganggu, kita pun harus senang bila saudara kita tidak diganggu. Demikian seterusnya.
Bukanlah mukmin yang baik orang yang senang dihormati tapi tidak mau menghormati saudaranya dan tidak senang bila saudaranya dihormati. Bila pengertiannya dibalik. Bukanlah mukmin yang baik orang yang tidak suka dihina, tapi suka menghina saudaranya dan suka bila saudaranya dihina.
Demikianlah kita bisa memperpanjang misal bagi ajaran hadis yang mulia itu dengan melihat cermin. Saudara kita adalah cermin kita.(el-vaheed)

modernisasi pesantren antara tuntutan dan ancaman

Dunia Pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu, dan selama itu telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berahlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Lembaga yang asli made in nusantara ini telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang kokoh, mandiri, dan diakui oleh dunia.

Dalam sejarah perjuangan umat Islam Indonesia, terutama pada masa perjuangan kemerdekaan, masyarakat pesantren, santri dan ulama merupakan salah satu ujung tombak pergerakan melawan penjajah. Dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, misalnya, kaum ulama mengeluarkan Resolusi Jihad
yang disuarakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari sehingga umat Islam bangkit melawan penjajah dengan perhitungan mati syahid. Di Aceh, kaum ulama yang sebagiannya juga tokoh tareqat mempelopori perang melawan penjajah pada masa dulu. Hikayat Prang Sabi merupakan syair yang digubah para ulama Aceh untuk mengobarkan semangat jihad dan mati syahid bagi rakyat Aceh dalam mengusir kaum kaphe (kafir) atau penjajah.
Ulama dan santri merupakan dua senyawa yang sangat akrab di telinga masyarakat Islam di Indonesia. Fakta ini pula yang menjadikan perkembangan Islam di Indonesia sangat khas dan unik. Masyarakat pesantren pulalah yang telah menjadikan banyak peneliti asing menjadi ahli Indonesia. Clifford Geertz, seorang antropolog asing yang meneliti tentang priyayi, santri, dan abangan di sebuah daerah di Jawa Timur, umpamanya.
Kata “santri” dalam khasanah kehidupan bangsa dan masyarakat Islam di Indonesia memiliki dua makna. Pertama, menunjuk ke sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok. Kedua, menunjuk ke akar budaya sekelompok pemeluk Islam sebagaimana juga dimaknai oleh Clifford Geertz. Seperti itulah pendapat Abdul Munir Mulkhan, dalam buku Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam (1994: 1).
Yang jelas, setelah ratusan tahun, pesantren kini dikucilkan. Akibat sedikit sekali media massa atau lembaga kemasyarakatan yang berusaha mengangkat sisi sesungguhnya dari dunia santri dan pesantren, santri dan dunia pesantren dipenuhi citra atau cap yang menakutkan. Masyarakat santri di pesantren dipandang oleh masyarakat umum nonpesantren dalam dua pemahaman yang merugikan.
Pertama, masyarakat santri di pesantren dipahami sebagai kelompok yang semata-mata berlajar agama dan kitab-kitab Islam tanpa peduli pada masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat umum. Kedua, dunia santri dan pesantren dicitrakan sebagai dunia yang tertutup atau eksklusif sehingga dekat dengan keterbelakangan, kekumuhan, dan kebodohan atas perkembangan dunia modern.
Masyarakat memandang zaman telah berkembang menuju era globalisasi. mereka menuntut pesantren sebagai institusi pendidikan untuk melakukan akselerasi dan transformasi yang cukup signifikan. Jika dahulu ruang lingkup output terbatas pada dimensi keagamaan saja, maka saat ini lulusan pesantren diharapkan dapat banyak berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Di latar belakangi hal itu, klasifikasi pesantren menjadi berubah. Dulu, mungkin kita hanya mengenal satu buah pesantren, pesantren dengan sistem salaf. Pesantren yang mempunyai manajemen dan administrasi pesantren sangat sederhana, dengan sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan kiai yang diterjemahkan oleh pengurus pesantren. Tercatat sekitar 8.905 pesantren salaf ada di Indonesia.
Itu dulu, kini ada pesantren khalaf (modern), seperti pesantren Hayatan Thayyibah (Sukabumi), Darul-Ulum (Bogor), Husnul-Khotimah (Kuningan, Jawa Barat), Darunnajah dan Darurrahman (Jakarta), Darussalam Gontor (Ponorogo, Jawa Timur), al-Mu’min (Ngruki), as-Salam, al-Zaitun (Solo, Jawa Tengah), Pesantren Thawalib-Padang Panjang (Sumatera Barat), dan lain-lain. Pesantren khalaf bercirikan, 1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; 2) tidak terikat atau tersentral pada figur kiai; 3) memiliki pola dan sistem pendidikan modern dengan perpaduan kurikulum antara mata pelajaran berbasis ilmu agama dan mata pelajaran berbasis pengetahuan umum. Di Indonesia, pesantren jenis khalaf ini tidak banyak. Jumlahnya sekitar 878 pesantren.
Lalu ada juga pesantren terpadu. Pesantren yang ini bertipe semi salaf sekaligus semi khalaf, seperti pesantren Tebuireng, Tambakberas-Jombang (Jawa Timur) dan Mathali'ul Falah-Kajen, Pati (Jawa Tengah). Pesantren terpadu ini bercirikan nilai-nilai tradisional yang masih kental sebab kiai masih dijadikan figur sentral. Norma dan kode etik pesantren klasik masih menjadi standar pola relasi dan etiket keseharian santri dalam pesantren. Namun, pesantren terpadu ini telah mengadaptasi sistem pendidikan modern sebagai bentuk respon atau penyesuaian terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren. Di Indonesia, jumlah pesantren tipe ini sekitar 4.284 buah.
Pesantren khalaf mengubah kurikulum tradisional dan beranjak pada suatu rumusan yang berbasis pada kebutuhan kontemporer. Sederhananya, para santri mereka kini tidak hanya diajari kitab kuning dan bahasa arab saja, melainkan diberikan juga bekal bahasa inggris, ilmu komputer, dan keterampilan pelengkap lainnya. Adapun konsep kurikulum yang ditawarkan pesantren modern ini lebih mengarah pada keterpaduan antara aspek kognitif (proses mengetahui yang serba ragam persepsi, mengingat, membayangkan, memperhatikan, menimbang dan berlogika), afektif (suasana hati, emosi) dan normatif (memegang teguh pada perilaku yang pantas) yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Perpaduan semacam itulah yang sekarang diminati oleh sebagian masyarakat. Mereka tidak lagi setuju pada konsep kurikulum yang hanya berorientasi pada penjernihan suasana hati dan penjagaan norma kemasyarakatan. Padahal, dalam perkembangannya terjadi perubahan signifikan pada proses modernisasi pesantren ini. Terjadi kesenjangan –ketidakseimbangan- paradigma, kerangka berpikir, antara aliran tradisional dan modern yang terkadang melahirkan konflik khilafiyah yang kontraproduktif.
Aliran modernis menuntut persinggungan yang intens dengan teknologi dan perkembangan informasi sehingga pesantren ini mengharapkan lahirnya pribadi yang moderat, pribadi berhaluan tengah dan open minded. Sementara aliran kitab kuning –dinisbatkan pada aliran tradisional– menuntut santrinya untuk tetap berkutat pada matan hadis maupun ilmu fiqih klasik serta mempertahankan keaslian dalil-dalil yang ada. Sehingga –menurut sebagian masyarakat- karakter yang terbina dari pesantren salaf cenderung konservatif, kolot, bersikap serta berusaha mempertahankan keadaan, tradisi, kebiasaaan dan berkarakter ekstrim.
Pandangan semacam itu, mungkin mereka peroleh akibat banyaknya kasus teror (bom) dan kekerasan yang melibatkan sebagian kecil santri Indonesia, ataupun juga karena pengaruh penilaian para pemikir asing yang mengatakan pesantren di Indonesia hanya tempat perkaderan muslim fundamental. Intelektual Barat memahami madrasah di beberapa negara Asia Selatan dan Asia Barat sama dengan madrasah-madrasah Timur tengah. Padahal seperti yang kita ketahui, di Indonesia sebuah madrasah berbeda dengan pesantren. Sedang masalah keterlibatan beberapa santri Indonesia dalam kasus teror (bom) dan kekerasan belakangan ini, disinyalir karena "ideologi" impor, bukan produk asli pesantren Indonesia yang cenderung kultural.
Dalam prosesnya, hal ini mengakibatkan suatu efek pendulum yang melahirkan ekstrem baru, yakni paradigma liberalis kebarat-baratan. Ekstrem antikonservatif –golongan santri tradisional yang bertransformasi menjadi liberalis kebarat-baratan– ini telah muak berada pada kejumudan yang dirasakanya selama mondok. Sehingga ketika ia melihat suatu ideologi kebebasan di luar lingkungannya, terjadi euforia yang berdampak pada ‘banting setir’ paradigma. Faktor terlahirnya ekstrim baru ini adalah proses modernisasi santri tanpa disertai bekal ruhiyah yang kuat dan mendalam. Sehingga para santri menjadi terlalu permisif -memperbolehkan- terhadap ideologi lain dan dengan mudahnya mengesampingkan ideologi Islam yang selama ini ia pahami.
Fenomena inilah yang ditakutkan oleh pesantren salaf, ketika dia harus berubah mengikuti tuntutan masyarakat. Betapa banyak kalangan santri yang berubah jadi nyeleneh setelah mengenal ideologi-ideologi yang berkembang di belahan dunia Barat. Beberapa santri yang sudah lulus pesantren kemudian dibiayai kuliahnya ke luar negeri untuk mempelajari teologi Islam, malah balik menentang ideologi yang bertahun-tahun ia dapati di pondok dulu. Sebut saja Ulil Abshar, pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL). Tokoh organisasi liberalis ini dulunya adalah santri di salah satu pesantren modern. Kemudian ia disekolahkan ke Amerika pada jurusan teologi Islam dan kembali ke nusantara membawa sebuah ideologi baru; Islam Liberal.
Dalam konteks seorang Ulil Abshar, paradigma moderat dan open minded yang diharapkan dari seorang santri modern bagai api jauh dari panggang. Sepak terjangnya kini malah jauh lebih kontraproduktif bahkan menyesatkan bagi muslim-muslim abangan. Amanat orisinalitas ideologi Islam yang dulu ia emban bertransformasi menjadi sinkrotisme yang menyesatkan. Ulil gagal mencoba menerjang kaidah-kaidah yang ada dan memadukan Islam dengan kristen, yahudi dan agama-agama lainnya.
Kondisi memprihatinkan inilah yang tengah dihadapi belantara Islam. Di satu sisi masyarakat menginginkan perubahan dalam diri pesantren. Namun ketika sebagian pesantren berubah, banyak yang tidak setuju bahkan kecewa dengan outputnya, mondok bukannya jadi bener malah klenger. Maka bagaimana ia dapat berkontribusi positif bagi agamanya, ketika realitanya ia berbalik menentang ideologi ini.
Kalau kita telisik, faktor utama penyebab efek pendulum ini adalah penanaman bekal ruhiyah yang kurang mendalam. Pesantren masa kini tampaknya secara mendasar berupaya memberikan pembekalan keterampilan atau spesifikasi pada para santrinya yang akan terjun ke masyarakat. Di beberapa pesantren, berbagai bidang keahlian dapat dipilih oleh para santri sesuai minatnya, seperti pendidikan guru, pertanian, perikanan, kerajinan, dan lain-lain. Hal ini dapat dianggap sebagai negosiasi pesantren terhadap nilai-nilai baru yang berkembang dalam masyarakat akibat kemajuan ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Padahal, dengan teknologi pula perubahan menjadi nyleneh akibat mengenal ideologi-ideologi di belahan dunia Barat dapat terjadi. Taruhlah internet.
Banyak pesantren modern mengesampingkan aspek ruhiyah, lembaga ini seakan lupa tujuan pertama sebuah pembelajaran, taqarrub ilallah. Maka menjadi suatu pengalaman berharga bagi para pengasuh pesantren modern, bila tidak ingin santri-santrinya hanya memahami ajaran Islam kulitnya saja, untuk lebih memperhatikan masalah ini.
Menurut Muhammad Ali, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, “Menghadapi era Teknologi Informasi (TI) seperti sekarang ini, santri harus menguasai teknologi. Santri tidak boleh gagap teknologi. Pasalnya, bila tertinggal dalam penguasaan teknologi, akan ditinggal juga,” ketika ia memberikan sambutan pada peserta Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) di Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Benda, Kecamatan Sirampog, Brebes, Jawa Tegah, Kamis (11/12/08) lalu.
Memang, sepintas apa yang ia katakan dapat dibenarkan. Namun internet tetaplah sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, internet berbahaya kalau disalahgunakan, misalnya menyangkut masalah pornografi. Namun di sisi lain, bila dipergunakan dengan baik, internet juga menawarkan peluang dan memberikan manfaat yang sangat banyak, termasuk dalam bidang dakwah.
Menjadi generasi nyleneh, mungkin itulah bahaya terbesar yang dijauhi pesantren salaf. Dengan masuknya internet, berarti meresap pula ke dalamnya segala jenis pemikiran, yang ditakutkan tentunya dapat melahirkan Ulil-Ulil baru.
Melihat tuntutan masyarakat dan faktor utama kegagalan pesantren khalaf, akibat mengesampingkan faktor ruhiyah, mestinya kekurangan ini menjadi modal yang sangat berharga bagi pesantren salaf, pesantren yang tidak mau dan tidak akan mengesampingkan faktor ruhiyah, yang emoh dengan perkembangan, untuk kembali merajut kejayaannya. Biar bagaimanapun teknologi semakin tidak bisa dipisahkan dari seseharian kita. Kegagalan memanfaatkan sebuah teknologi yang dialami oleh sebagian penikmat kemajuan, sudah waktunya tidak membuat pesantren ketakutan. Yang terpenting, bagaimana pesantren mampu untuk mempertahankan kesalafan tanpa harus terbendung segala kemajuan. Mampukah?

Ahlu Sunnah Wal Jama'ah

Sayid Muhammad bin Muhammad al-Husaini atau yang lebih dikenal dengan As-Syaikh Murtadla Az-Zabidi dalam kitab beliau Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin mengatakan:

إذا اطلق اهل السنة والجماعة فالمراد بهم الاشاعرة والماتردية.
Artinya: “Jika disampaikan kalimat Ahli Al Sunnah Wal Jama'ah secara mutlak, maka yang dikehendaki adalah golongan al-Asya'irah dan Al-Maturidiyyah.”

As-Syaikh Ahmad Bin Musa al-Khayali dalam Hasiyah Syarh al-Aqaid karya Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, juga mengatakan:

الاشاعرة هم اهل السنة والجماعة
Artinya: “Pengikut Abu Hasan al-Asy’ari semuanya adalah Ahli Sunnah wal Jama'ah.”

Artinya, ketika disampaikan Ahlussunnah wal Jama'ah, maka ucapan tersebut memastikan Asy'ariyyah sebagai bagian dari golongan tersebut. Beliau menambahkan, termasuk Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Asy'ariyyah yang masyhur di wilayah Khurasan, sekitar Afganistan, Irak, Syam serta mayoritas daerah berpenduduk muslim. Sedangkan yang masyhur di daerah seberang Nahri Jaihun, yaitu daerah Khawarizm di Afganistan, Ahlussunnah di sana tergolong pengikut Abu Manshur Al-Maturidi. Komentar serupa juga disampaikan Imam Al-Kastalani.


Abu Hasan Al Asy’ari pada mulanya berguru ilmu kalam dari Abu Ali Al Juba’i, salah satu tokoh besar Mu'tazilah. Kemudian melalui sebuah proses panjang, beliau mulai mendapatkan sisi rapuh dari akidah Mu'tazilah. Setelah mendapatkan petunjuk Allah untuk memahami terang kebenaran ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, Al Asy’ari menjadi tokoh pertama yang menentang Mu'tazilah. Beliau dengan terang-terangan berdiri di muka kaum muslimin di atas mimbar masjid Basrah pada hari Jumat, menyampaikan dengan lantang khutbahnya sebagai berikut:

“Barang siapa telah mengenal diriku, mereka telah mengetahui akidahku, dan bagi yang belum mengenalku, perlu Anda semua ketahui bahwa saya adalah seseorang yang dulu mengatakan al Quran adalah makhluk, Allah tidak dapat disaksikan dengan penglihatan di akhirat nanti dan bahwasanya manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Dan ketahuilah, saya telah bertaubat dari akidah Mu'tazilah tersebut dan bertekad untuk menentang akidahnya. Wahai umat sekalian, selama beberapa waktu ini aku mengasingkan diriku untuk menelaah dan mencoba merenungkan dalil-dalil, namun tidak ada yang menjadikan diriku mantap. Kemudian aku meminta petunjuk Allah, hingga Allah memberiku petunjuk dengan keyakinan yang aku tuangkan dalam kitabku ini. Dan aku melepas akidahku selama ini, sebagaimana aku melepas bajuku ini.” Kemudian beliau melepas dan membuang bajunya dan menyerahkan kitabnya pada umat.

Kemudian beliau menyusun lebih dari dua ratus kitab kitab berisi tanggapan dan kritik terhadap akidah Mu'tazilah sekaligus menyusun kitab tentang pedoman dan dasar-dasar akidah Ahlussunnah wal Jama'ah. Sebuah warisan berharga terhadap perjuangan menegakkan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dan bagi umat Islam pada umumnya.

Diceritakan beberapa cuplikan akhir perdebatan Abu Hasan Al Asyari dan Abu Ali Al Juba’i:

Abu Hasan bertanya pada Abu Ali: “Bagaimana pendapat Anda tentang tiga saudara yang telah meninggal dunia, yang pertama adalah orang yang taat, yang kedua adalah orang yang meninggal dalam keadaan durhaka dan orang ketiga meninggal dalam keadaan masih kecil?”

Abu Ali menjawab: “Yang taat diberi pahala masuk surga, yang durhaka disiksa masuk neraka dan yang kecil ada di tengah-tengah antara keduanya (manzilah baina al-manzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa.”

Abu Hasan bertanya: “Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau mengambil nyawa hamba saat masih kecil? Andai Engkau biarkan hamba hidup, maka hamba akan taat padaMu, hingga hamba masuk surga.” Lalu, bagaimana Allah menjawab?”

Abu Ali menjawab: “Allah akan menjawab: “Aku tahu jikalau engkau dibiarkan hidup sampai dewasa, maka engkau akan durhaka, hingga akhirnya masuk neraka, maka yang terbaik bagimu adalah engkau mati di saat masih kecil.”

Abu Hasan bertanya lagi: “Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika Engkau tahu aku akan durhaka, mengapa Engkau tidak mengambil nyawaku di saat aku masih kecil? Sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?” Lalu, apa yang akan dikatakan Allah?!” Dan pada akhirnya Abu Ali Al Juba’i tidak mampu menjawab. Ibn 'Imad menyampaikan, "Perdebatan ini membuahkan kesimpulan bahwa Allah akan merahmati siapa pun yang Ia kehendaki, dan menentukan siksaan bagi mereka yang juga telah dikehendakiNya."

Semenjak itulah Abu Hasan Al Asy’ari meninggalkan madzhab Mu'tazilah. Beliau dan para pengikutnya mencurahkan perjuangan untuk membatalkan akidah Mu'tazilah.

Akidah Al Asy’ari dan Al Maturidi
Kedua tokoh pelopor Ahlussunnah wal Jama'ah, Abu Hasan Al Asyari dan Abu Manshur Al Maturidi, telah menyepakati beragam konsep akidah, di antaranya masalah sifat-sifat wajib dan muhal (mustahil) bagi Allah, para rasul dan malaikat, sifat jaiz bagi Allah dan rasul, meskipun terkadang dalam argumentasi dan penalarannya berbeda. Perbedaan yang terjadi antara mereka berdua bukanlah perbedaan esensial. Menurut satu keterangan mereka berdua berbeda dalam tujuh puluh tiga, pendapat lain dua belas persoalan. Sedangkan menurut versi lain, perbedaan mereka hanya dalam tiga hal, yakni:

1. Seputar persoalan istitsna’ (pengecualian), atau masalah keimanan seseorang yang dalam perkataannya menambahkan pengecualian إن شاء الله.
2. Menyikapi masalah sifat takwin (mewujudkan)
3. Tentang keimanan seseorang yang hanya mengikuti orang lain yang dipercayai, tanpa mengetahui dengan jelas dalil-dalilnya atau dalam bahasa lain iman dari muqallid.

Seputar Istitsna' (pengecualian)

Masalah istitsna’ , yakni persoalan keimanan seseorang yang mengatakan: “Saya mukmin, insya Allah.” Menurut kalangan Asy'ariyah hal tersebut diperbolehkan, namun menurut Al Maturidiyyah tidak diperbolehkan. Sebagaimana dikutip dari penyataan Al Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din: “Apabila kalian bertanya, dari mana tinjauan ucapan ulama salaf 'Saya mukmin insya Allah', padahal pengecualian termasuk keraguan, sedangkan keraguan dalam iman adalah kufur. Sedangkan ulama salaf menghindari jawaban mantap dalam keimanan dan mereka mengecualikan dengan kata-kata di atas?”

Dalam hal ini Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa mengatakan saya mukmin di hadapan Allah, maka dia termasuk pembohong dan barangsiapa mengatakan 'saya mukmin dengan haq', maka itu adalah bid’ah.” Bagaimana mungkin dinilai pembohong, padahal dia telah mengetahui apa yang ada di hatinya sendiri, dan barangsiapa beriman dalam hati, maka artinya dia beriman juga di hadapan Allah. Sebagaimana orang tersebut tahu bahwa dirinya mendengar atau melihat, maka di hadapan Allah seharusnya juga demikian. Di satu kesempatan Hasan Bashri pernah ditanyai seseorang: “Apakah Anda mukmin?” Beliau menjawab: 'Insyaallah', kemudian orang tersebut bertanya kembali: “Kenapa Anda menjawab insyaAllah?” Hasan Bashri menjawab: “Saya takut mengatakan “betul” sementara Allah mengatakan “bohong engkau Hasan.”

Ibrahim bin Adham mengatakan: "Saat kalian ditanya, 'Apakah Anda mukmin?' Maka jawablah dengan perkataan:"Laa ilaha illallah" atau jawablah: “Saya tidak ragu-ragu dalam keimanan, hanya saja apa yang engkau tanyakan adalah bid’ah.” Saar Al Qamah ditanyai seseorang: “Apakah Anda mukmin?” Beliau menjawab: “Saya berharap demikian, insya Allah.”

Kemudian, apa arti semua pengecualian di atas? Al Ghazali memaparkan bahwa melakukan pengecualian (istisna’) sebagaimana di atas dapat dibenarkan. Hal ini tidak terlepas dari empat faktor. Dua faktor merupakan istitsna’ yang dilatarbelakangi dari adanya keraguan tentang akhir hidup yang belum pasti (naudzubillah min suu'il khatimah) atau tentang kesempurnaan iman. Dan dua faktor yang lain merupakan istitsna’ yang tidak dilatarbelakangi keraguan.

Faktor pertama, melakukan istisna’ karena keraguan atas kesempurnaan iman. Sehingga perkataan “Saya mukmin, insya Allah”, dapat ditafsirkan maksudnya adalah, “saya mukmin dengan iman yang haq (sebenar-benarnya), insya Allah”. Dilatarbelakangi karena ada sebagian manusia mendapatkan predikat 'mukmin yang haq' dari Allah. FirmanNya dalam QS. Al-Anfaal :04:

أولئك هم المؤمنون حقا.
Artinya: "Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya"

Setiap manusia mengalami keraguan semacam ini, dan bukan dinilai sebagai kekufuran. Dan hal ini dibenarkan memandang dua aspek. Pertama, bahwasanya kemunafikan dapat menghilangkan kesempurnaan iman, padahal kemunafikan samar dan halus keberadaannya serta belum dipastikan terlepas dari manusia. Kedua, meskipun kesempurnaan iman dapat dicapai melalui beberapa amal ketaatan, namun juga abstrak keberadaannya.

Faktor kedua, melakukan istisna’ karena keraguan atas tetapnya iman di akhir hayat. Setiap manusia tidak tahu apakah imannya selamat atau tidak? Jika hidup diakhiri dengan kekufuran, maka terhapuslah semua amal yang telah lewat, na'udzubillah min dzalik. Sebagaimana orang yang berpuasa di siang hari saat ditanyai: “Apa puasamu sah?” Kemudian ia menjawab: “Aku pasti berpuasa.” Dan ternyata ia berbuka di tengah hari, maka jelas ungkapannya termasuk kebohongan.

Faktor ketiga, melakukan istisna’ karena kekhawtiran merasa dirinya bersih dari sifat yang tidak terpuji. Sedangkan merasa bersih adalah larangan Allah swt. Firman Allah dalam QS. An-Najm: 32;

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya: "Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."

Orang bijak saat ditanya: “Apakah kejujuran yang jelek?” Ia akan menjawab: “Memuji diri sendiri.”

Faktor ketiga, melakukan istisna’ karena berlaku adab dengan menyebutkan Allah dan menyerahkan semuanya atas kehendak Allah. Sedangkan Allah mengajarkan adab terhadap nabiNya dengan berfirman:
ولاتقولن لشيء إنى فاعل ذلك غدا إلا ان يشاء الله
Artinya: "Jangan kalian benar-benar mengatakan atas sesuatu: Aku akan melakukan sesuatu esok hari, kecuali atas kehendak Allah."

Allah swt. juga mengajarkan hal tersebut pada hal-hal yang sudah pasti terjadinya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fath:26:

لتدخلن المسجد الحرام إن شاء الله امنين محلقين رؤوسكم ومقصرين
Artinya: "Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya."

Menyikapi Teori At-Takwin
Al Asy'ari dan Al Maturidi berbeda mempersoalkan apakah at-Takwin termasuk sifat mukawwin atau bukan? Menurut Al Maturidi, at-takwin (mewujudkan) sebagaimana memberi rezeki, menjadikan hidup mati, memberi rezeki sejalan dengan qudrah, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin dan takwin bukanlah mukawwin (yang menjadikan). Menurut Al-Asy'ari, at-takwin tidak berbeda dengan qudrah dengan menilik hubungannya secara khusus. Mewujudkan adalah sifat qudrah dengan memandang hubungannya kepada makhluk. Memberi rizqi adalah sifat qudrah dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rezeki.

Tentang Keimanan Muqallid
Menurut Al Maturidi, iman muqallid (orang yang mengikuti orang lain tanpa memahami dalil) adalah sah dan mereka orang awam disebut dengan 'arif (orang yang ma’rifat pada Allah) dan masuk surga. Menurut Al Asy'ari dan ulama lain yang sependapat, bahwa kewajiban ma’rifat tidak cukup dengan taqlid. Pengikut Al Asy'ari dalam hal ini juga berbeda pendapat mengenai iman seorang muqallid. Ditemukan tiga versi di kalangan mereka. Pertama, muqallid adalah mukmin, namun berdosa karena tidak berusaha mengusahakan ma’rifat melalui analisa dalil. Kedua, muqallid dianggap mukmin dan tidak berdosa, kecuali jika mampu mengupayakan analisa dalil. Ketiga, muqallid tidak dianggap mukmin sama sekali.. (el-vaheed)

Rabu, 02 Maret 2011

Bahtsul Masail

| Share
Pondok Pesantren, sebagai suatu padepokan untuk memperdalam ilmu agama, sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Di dalamnya para cantrik (santri) mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara pengasuh pesantren (kiai) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Kiai adalah sosok pemimpin yang tunggal dalam Pesantren, dia selalu sebagai panutan dan tauladan kehidupan bagi para santri.

Persepsi masyarakat umum yang beranggapan bahwa pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal, kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan persepsi yang keliru dan tidak berdasar kenyataan. Di lingkungan pondok pesantren ada tradisi unik dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang di masyarakat, baik masalah agama maupun problematika kebangsaan dengan cara bertukar pikiran sesama santri maupun sesama para kiai. Tradisi itu namanya bahtsul masail (forum pembahasan masalah).

Bahtsul masail adalah merupakan forum pembahasan masalah-masalah yang muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama.  Peserta bahtsul masail terdiri dari para kiai pakar ahli fiqh dan kalangan profesional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya. Uniknya, masalah-masalah yang dibahas tidak hanya masalah agama tetapi juga masalah perkembangan politik yang aktual. Misalnya, bahtsul masail yang baru-baru ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Sidogiri, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Bahtsul masail yang diikuti 180 utusan Pondok Pesantren dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur.tersebut membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam forum tersebut para peserta membahas pemilihan kepala daerah menurut dalil-dalil agama (fiqh), selain hukum negara yang ada. Sebab dalam prakteknya Pemilihan Kepala Daerah banyak ditemukan praktek-praktek politik uang (money politic).
Selain tujuannya sebagai forum pembahasan masalah yang berkembang di masyarakat, bahtsul masail juga sebagai forum untuk membangun ukhuwah dan interaksi antar pesantren dan kegiatan ini biasanya dilaksanakan rutin, baik setiap bulan maupun tahun, dan tempatnya bergilir di beberapa pesantren. Masalah-masalah yang akan dibahas dalam bahtsul masail merupakan usulan dari berbagai pesantren. Usulan masalah itu dikumpulkan dan disaring oleh panitia untuk menjadi tema pembahasan bersama dalam forum tersebut.  Bahtsul Masail dilakukan dengan dua cara, yaitu Bahtsul Masail waqi'iyah (aktual) dan Bahtsul Masail maudhu'iyah (tematik). Dengan demikian, pembahasan menjadi lebih luas dan lebih berkembang, baik dalam forum Muktamar NU maupun forum Munas Alim-Ulama NU.

Tradisi pengambilan keputusan hukum model bahtsul masail di lingkungan pondok pesantren dan di kalangan Nahdlatul Ulama mempunyai tujuan antara lain :
Pertama, supaya NU memiliki pedoman dalam menetapkan hukum, sehingga semua keputusan di dalam bahtsul masail harus berpegang pada cara-cara yang telah ditetapkan di dalam sistem yang sudah disepakati.
Kedua, dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya mauquf atau tertundanya suatu masalah karena tidak ada nash atau tidak ada qaul dalam al-kutubul-mu'tabarah, atau tidak ada aqwal (pendapat), af'al (perilaku) dan tasharrufat dari assabiqunal awwalun (para perintis) NU. Bahtsul masail juga dimaksudkan untuk menghindarkan munculnya jawaban terhadap berbagai persoalan tanpa pedoman yang benar.
Ketiga, adalah sistem ini sekaligus memberikan penjelasan bahwa bermadzhab di lingkungan Nahdhatul Ulama menggunakan pendekatan qauli (produk pemikiran) dan manhaji sehingga tidak mungkin terjadi kesulitan dalam merespon setiap persoalan yang terjadi, baik yang menyangkut aspek diniyah maupun ijtima'iyah, aspek ekonomi, sosial, politik ataupun aspek-aspek lainnya.
Dengan demikian, pesantren yang selama ini dianggap melestarikan tradisi feodalistik dan otoriter justru merupakan perintis dalam berkembangnya tradisi dialog yang setara dan demokratis melalui bahtsul masail.  Kalangan pesantren justru merupakan komunitas yang telah terbiasa dengan perbedaan pendapat -dan yang lebih penting- menyelesaikan segala perbedaan pendapat dengan cara-cara dialog yang damai dan demokratis, bukan dengan kekerasan apalagi sampai menutup rumah ibadah umat lain yang berbeda agama dan aliran.  Wallahu A'lam

Maulid Nabi|

  Share
Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi --orang Eropa menyebutnya Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub --katakanlah dia setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.

Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Dia lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

***

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.

Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang "pengampunan" yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, artinya Dia mengampuni).

Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Idul Adha).

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar kepala oleh anak-anak NU. Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Ada yang hanya membaca Barzanji atau Diba' (kitab sejenis Barzanji). Bisa juga ditambah dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’izhah hasanah dari para muballigh kondang.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan.

Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syqfa'at kepadanya di Hari Kiamat." Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

ketika kiai saling nyantri

Adalah dua orang Kiai di Tanah Jawa yang sangat terkenal kealimannya pada awal abad ke-20, yaitu Kiai Cholil Bangkalan (wafat 1925) yang merupakan gurunya kiai setanah Jawa bahkan se Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah adalah di antara para muridnya. Selain itu ada Kiai Muhammad Dahlan Jampes Kediri, seorang waliyullah yang menjadi guru para Kiai sezamannya dan yang menurunkan seorang ulama besar yaitu Kiai Ihsan Jampes penulis beberapa kitab seperti Sirajut Thalibin dan Manahijul Imdad yang terkenal di seluruh dunia.

Sebagai seorang ulama, maka semakin tinggi ilmunya semakin tawadlu sikapnya, walaupun usianya sudah lanjut dan kealimannya diakui semua ulama, maka tidak ada halangan bagi Kiai Dahlan untuk nyantri pada Kiai Cholil di Bangkalan Madura. Meski telah belajar ke berbagai kiai terkemuka di seluruh pesantren di tanah Jawa, tetapi rasanya kurang lengkap bagi Kiai Dahlan kalau tidak berguru kepada kiai Cholil dan ingin diakui sebagai murid dari waliyullah ini.

Dengan meninggalkan pesantren dan santrinya berangkatlah Kiai Dahlan ke Bangkalan untuk nyantri kepada Kiai Cholil. Di sana diterima sebagai santri biasa, sehingga sempat menghuni pesantren itu beberapa bulan. Setelah beberapa bulan berlangsung Kiai Cholil berkata kepada Kiai Dahlan agar segera pulang, sebab semua ilmu yang dimiliki sudah habis sudah diajarkan semua. Sebagai ketaatan pada guru maka setelah memperoleh ijazah dari Kiai kharismatik tersebut maka pulanglah Kiai Dahlan ke Pesantrennya, kembali mengajar para santri.

Betapa kagetnya Kiai Dahlan selang beberapa bulan kemudian Kiai Cholil datang ke pesantren Jampes Kediri dengan niat untuk berguru menjadi santri Kiai Dahlan, sebab ada beberapa ilmu penting yang belum dikaji Kiai Cholil dan ilmu itu hanya dimiliki Kiai Dahlan.

Setelah terjadi perbincangan lama, maka diterimalah Kiai Cholil sebagai santri mengkaji beberapa disiplin keilmuan di bawah bimbingan Kiai Dahlan. Hubungan keduanya menjadi berbalik yang semula kiai Cholil menjadi guru sekarang diperlakukan sebagai muridnya. Sementara Kiai Dahlan menjadi gurunya dan bertindak sebagai guru.

Setelah beberapa bulan belajar di pesantren itu, maka Kiai Dahlan memangggil Kiai Cholil dan mengatakan bahwa saat ini jumlah santri baru yang mendaftar semakin banyak, sehingga kamar pondok tidak lagi mencukupi, karena itu Kiai Cholil dipersilahkan agar segera pulang biar kamarnya bisa untuk menampung santri baru. Setelah memproleh ijazah dari Kiai Dahlan, maka pulanglah Kiai Cholil Bangkalan ke Pesantrennya di Bangkalan.

Dalam tradisi pesantren mencari ilmu memang tidak ada batasnya, meski telah lanjut usia, meski telah berada di puncak ketenaran. Bagi para ulama ilmu bukanlah popularitas, tetapi sarana menuju ketakwaan. Ilmu yang tidak menambah ketakwaan hanyalah kehampaan, ilmu yang mendekatkan kepada Allah adalah ilmu yang benar-benar manfaat, migunani, karena itu akan terus dicari sepanjang hayat,lalu bagaimana dengan kita sebagai santri ?

masjid ahmadiyah sukabumi dibongkar santri Annidzom

PANJALU--Masjid Mubarok di Jalan Selabintana Kampung Panjalu RT 11/03 Desa Warnasari Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi, yang selama ini diklaim Jemaah Ahmadiyah setempat sebagai tempat ibadah milik mereka, sebagian bangunannya dibongkar warga, kemarin. Kendati tidak ada pergerakan perlawanan dari Jemaah Ahmadiyah Sukabumi, namun ratusan santri dari sejumlah pondok pesantren di Kabupaten Sukabumi, dibantu sejumlah warga dan puluhan massa dari ormas Gerakan Islam Reformis (Garis) yang diketahui banyak berasal daerah Cianjur, merangsek masuk dan membongkar masjid itu. Di tengah pengawalan 400 lebih aparat Kepolisian Mapolres Sukabumi Kota dibantu puluhan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Sukabumi. Hampir satu jam lebih, kaca jendala, kaca pintu, atap dan sebagian genteng masjid yang sejak enam tahun lalu terbengkalai tak terawat, dibongkar oleh massa yang terlihat cukup emosi. Bahkan Kwh aliran listrik yang sudah lama tidak aktif di masjid itupun tak luput dari aksi pembongkaran. Aksi pembongkaran ini menyusul surat putusan eksekusi perkara sengketa tanah wakaf antara pengikut aliran Ahmadiyah dengan warga sekitar. Akan tetapi sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) RI nomor 138.K/AG/2010, 10 April 2010, yang dibacakan Wakil Panitera Pengadilan Agama (PA) Negeri Cibadak Kabupaten Sukabumi, A Djudairi Rawiyan. Pihak PA Negeri Cibadak sebagai juru sita akhirnya mencabut penguasaan kepemilikan Masjid Mubaroq dari tangan warga Jemaah Ahmadiyah untuk selanjutnya diserahkan penguasaan kepemilikannya kepada warga sekitar non Jemaah Ahmadiyah yang dipelopori Pimpinan Yayasan Islam Al-Madani, Dadi Ganda Suwiryo. "Atas dasar keputusan dari MA, kami selaku juru sita dengan ini mencabut penguasaan kepemilikan para termohon eksekusi (Jemaah Ahmadiyah) dan seketika itu pula kami serahkan pengusaan kepemilikan tanah dan bangunan masjid ini kepada pemohon eksekusi sebagaimana bunyi perintah amar di atas,"kata A. Djudairi Rawiyan saat membacakan eksekusi perkara eksekusi. Eksekusi yang disaksikan Kapolres Sukabumi Kota, AKBP Anwar, Dandim 0607 Sukabumi, Letnan Kolonel (CZI) Rachmat Setiawibawa, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sukabumi, KH Zezen Zaenal Abidin, Pimpinan Ponpes Annidzom Sukabumi, KH Abdullah Mukhtar, tokoh masyarakat sekitar serta unsur Muspika Kecamatan Sukabumi, dimulai sekitar pukul 09.30 dan berakhir pukul 10.30 WIB. KH Abdullah Mukhtar menegaskan, dirinya menjamin bahwa tidak akan ada aksi anarkisme terhadap sekitar 30 lebih Jemaah Ahmadiyah yang ada di Kampung Panjalu Desa Warnasari. Justru KH Abdullah Mukhtar akan terus berusaha mengajak Jemaah Ahmadiyah untuk segera kembali ke pemahaman ajaran Islam yang benar. "Kami menjamin tidak akan ada aksi kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah. Tapi disamping itu, kamipun meminta ketegasan pemerintah agar Ahmadiyah dibubarkan, sebab dengan adanya Ahmadiyah jelas-jelas telah melukai keyakinan agama Islam," tegasnya. Hal senada diungkapkan Ketua MUI Kabupaten Sukabumi, KH Zezen Zaenal Abidin. Menurutnya, untuk merangkul Jemaah Ahmadiyah, MUI tidak pernah akan membenarkan aksi-aksi kekerasan. Dalam hal ini lembaga yang dipimpinnya akan terus berupaya meluruskan kekeliruan keyakinan Jemaah Ahmadiyah yang ada di beberapa wilayah di Kabupaten Sukabumi. Selain itu upaya lain yang dilakukan pihaknya yaitu dengan telah mengirimkan surat permohonan pembubaran Ahmadiyah yang disampaikan langsung ke Presiden SBY. "Komunikasi dengan para pimpinan Ahmadiyah sudah kita lakukan dan kami tidak akan pernah berhenti untuk mengingatkan mereka kembali kepada ajaran Islam yang benar,"terangnya. Sementara itu, Kapolres Sukabumi Kota, AKBP Anwar mengatakan, selain melakukan pengawalan di tempat eksekusi. Basis-basis tempat Jemaah Ahmadiyah selama ini dijadikan aktivitas seperti di Jalan Sriwedari Kota Sukabumi, juga turut diamankan. Hal ini kata Anwar untuk mengantisipasi pergerakan dari Jemaah Ahmadiyah yang tidak menerima eksekusi ini. Dalam proses eksekusi tersebut, KH Abdullah Mukhtar dan KH Zezen Zaenal Abidin disaksikan ratusan massa yang hadir, langsung meletakan batu pertama pembangunan masjid baru yang diberi nama Masjid Al-Mujahidin, yang nantinya bebas dimanfaatkan untuk beribadah oleh semua umat Islam.(wan)